DAFTAR ISI
Identitas Buku…………………………………………... 2
Sinopsis …………………………………………………. 3
Unsur Intrinsik…………………………………………… 4
Unsur Ekstrinsik…………………………………………. 8
IDENTITAS BUKU
·
Judul : Gadis Pantai
·
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
·
Penerbit : Lentera Dipantara
·
Tahun terbit : Juli 2003
·
Genre : Roman
·
Halaman : 272
SINOPSIS
Gadis pantai adalah anak
kampung nelayan berusia empat belas tahun sewaktu dinikahkan dengan
Bendoro,pembesar asal Bima. Gadis Pantai pada awalnya merasa bingung, dengan
siapa ia dinikahkan karena ketika pernikahannya, Bendoro tidak menghadiri
upacara pernikahan sendiri,melainkan hanya diwakili sebilah keris. Setelah
pernikahan, Gadis Pantai harus pindah ke kota untuk tinggal bersama Bendoro
namun Gadis Pantai tidak mau pindah ke rumah mewah di kota itu tetapi
kenyatannya Gadis Pantai tetap diantarkan orang tuanya yang berpikir Gadis
Pantai akan hidup berbahagia dan nyaman di sana.
Di rumah Bendoro tersebut
ada seorang hamba sahaya tua (mbok) yang mengajarkan kepada Gadis Pantai
segalanya yang harus dia tahu dan lakukan untuk memelihara kesenangan Bendoro.
Gadis pantai namanya diganti jadi Mas Nganten. Selain mbok tidak ada orang pun
di rumah itu yang peduli pada Mas Nganten. Suatu waktumbok diusir akibat mengkritik
anak-anak yang ada di rumah Bendoro. Mbok digantikan oleh Mardinah yang sombong
nan jahatanak seorang jurutulis dari kota. Sikapnya berani kepada Gadis Pantai.
Belakangan terungkap bahwa dia diutus Bendoro Putri bupati Demak untuk
mengupayakan agar anak Bendoro Putri bisa dinikahi oleh suami Gadis Pantai.
Mardinah diberi janji apabila berhasil maka dia akan diambil jadi istri kelima.
Perlahan Gadis Pantai yang berasal dari kampung itu mulai menyadari bahwa
pernikahannya hanya percobaan saja dan Bendoro akan menikah lagi dengan wanita
dari kalangan bangsawan.
Setelah dua tahun
pernikahannya berlalu, Gadis pantai mendapat izin untuk mengunjungi orang
tuanya di kampung. Disitu Gadis Pantai mengalami perubahan perilaku orang
kampung terhadap dirinya. Gadis Pantai dianggap Bendoro, priyayi bukan orang
kampung lagi. Itu merupakan hal yang sangat menyedihkan dan menyakitkan untuk
Gadis Pantai. Setelh tiga tahun pernikahannya, Gadis Pantai melahirkan bayi
perempuan. Beberapa saat kemudian dia diceraikan dan diusir dari rumah Bendoro.
Bayinya ditahan disana. Bapak Gadis Pantaimenemani Gadis Pantai untuk kembali
ke kampung mereka. Namun ditengah perjalanan, setelah meminta izin bapaknya
Gadis Pantai memutuskan untuk pergi jauh dari kampung akibat malu yang tak
terbendung.
UNSUR INTRINSIK
·
Tema
Sistem
feodalisme dan budaya adat Jawa.
·
Plot
Maju
Awal cerita,dimulai ketika Gadis
Pantai yang tinggal di kampung nelayan pada masa penjajahan Belanda dinikahkan kemudian
dibawa ke rumah Bendoro, kehidupannya kemudian disana, bagaimana ia
menyesuaikan diri sebagai ‘wanita utama’, menjalani hidup dengan Bendoro,
mengandung dan melahirkan bayinya dengan Bendoro serta bagaimana ia diusir dari
oleh Bendoro setelah melahirkan bayi pertamanya yang berjenis kelamin perempuan
dan ia memutuskan untuk pergi ke Blora karena malu dengan Emak dan tetangganya
di kampung.
·
Perwatakan
è Gadis
Pantai (baik hati, polos, dan tidak sombong)
“Aku tak butuhkan sesuatu dari dunia kita
ini. Aku Cuma butuhkan orang yang tercinta, hati-hati yang terbuka, senyum,
tawa, dan dunia tanpa duka, tanpa takut.”(Gadis Pantai-hal 138)
è Bendoro
(semena-mena dan egois)
“Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang
kau boleh dan tidak boleh, harus dan musti kerjakan. Diamlah kau sekarang.
Malam semakin larut.”(Gadis Pantai-hal 136)
è Mbok
(penyayang)
“Aku ingin mbok sayangi aku.”
“Apa kurang sayang sahaya?”
“Akui ingin senangkan hati mbok.”
“Apa dikira sahaya kurang senang layani Mas
Nganten?”
(Gadis Pantai-hal 96)
è Mardinah
(sombong)
“Apa bapak Mas Nganten? Nelayan, bukan?
Benar, sahaya tidak salah. Mas nganten tahu siapa orangtua sahaya?. Pensiunan
jurutulis.” (Gadis Pantai-hal 25)
è Bapak
(keras)
“Apa kau bilang?”tanyanya sekali lagi dengan
suara mengeras membentak. (Gadis Pantai-hal 270)
è Emak
(rela berkorban)
“Aku dan bapakmu banting tulang biar kau
rasakan pakai kain, pakai kebaya, kalung, anting seindah itu. Dan gelang ular
itu….”(Gadis Pantai-hal 13)
·
Latar
è Latar
Tempat
ü Rumah
besar tempat tinggal Bendoro
“ Mereka sedang menghirup udara pagi di kebun
belakang. Dan kebun belakang itu jauh lebih besar dari seluruh kampung nelayan
tempat iadilahirkan dan dibesarkan. Seluruhnya terpagari dinding tembok tinggi.
(Gadis Pantai-hal 40)
ü Kampung
Gadis Pantai
” Bocah-bocah pada berkicau mengenalkan
keanehan pantai waktu gadis pantai lebih jauh lagi berjalan, yang nampak dan
tercium masih yang dulu juga: ampas manusia yang berbaris sepanjang pantai,
berbaris tanpa komando.”
“ Lihatlah,” ia menuding pada laut, “ dia
tidak berubah” kemudian membalik badan menuding ke kampung. “ Dia pun tak
berubah. Atap – atap rumbainya tak ada yang baru. Pohon-pohon kelapa itu
kulihat tak bertambah. Ada yang mati sepeninggalanku?”(Gadis Pantai-hal 176).
è Latar
waktu
Kisah Gadis Pantai dilukiskan pada awal abad
dua puluh.
”Ia telah tinggalkan abad sembilan belas,
memasuki abad dua puluh.”(Gadis Pantai-hal 11)
è Latar
suasana
ü Sunyi
“Gadis
Pantai tersandar sekarang betapa takutnya ia pada kesunyian,pada keadaan tak
boleh bergerak.”(Gadis Pantai-hal 35)
“Ia
takut. Ia tak pernah diajar menggunakan bahasa yang biasa yang dipergunakan di
kota. Ia diam saja.”(Gadis Pantai-hal 40)
ü Senang
”Kembali
Gadis Pantai tertawa senang. Ia temukan dalam logat kusir bahasa yang selama ini ia rindukan. Yang selama ini
ingin ia ucapkan: kata-kata yang kelauar dari hati yang lugu – dari hati yang
tertindas.”(Gadis Pantai-hal 143)
”Suasana
tiba-tiba menjadi riang gembira.Orang tertawa riuh-rendah. Pendongen jadi
sasaran. “(Gadis Pantai-hal 200)
·
Sudut pandang
Sudut
pandang orang ketiga tidak terbatas, sudut penglihatan Yang Berkuasa, atau
pengarang serba tahu.
”Inilah
tebusan janjiku. Pada dia yang tak pernah ceritakan sejarah diri. Dia yang tak
pernah ku ketahui namanya. Maka cerita ini kubangun dari berita orang lain,
dari yang dapat kusaksikan, kukhayalkan, kutuangkan.”(Gadis Pantai-hal 9)
“Empat
belas tahun umurnya. Waktu itu. Kulit langsat.Tubuh kecil mungil. Mata agak
sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai
Keresidenan Jepara Rembang.”(Gadis Pantai-hal 11)
“
Mak juga nangis.” Gadis Pantai menyela
antara
sedannya.
(Gadis Pantai-hal 14)
·
Gaya bahasa
Menggunakan
majas dan gaya bahasa retoris berupa pencitraan.
è Majas
ü Majas simile
”Tertinggal Gadis Pantai seorang diri dalam ruangan besar
yang tak pernah diinjaknya semula, laksana seekor tikus di dalam
perangkap.”(Gadis Pantai-hal 35)
ü Majas
Metafora
”Dinding-dinding
batu tebal itu bisu-kelabu tanpa hati.”(Gadis Pantai-hal 36)
ü Majas
Personifikasi
“Tapi
lapar tetap membelit-belit dalam perutnya.”(Gadis Pantai-hal 43)
è Peribahasa
dan pencitraan
ü Peribahasa
“Berakit-rakit
ke hulu.”(Gadis Pantai-hal 38)
ü Pencitraan
penglihatan
“Empat
belas tahun umurnya waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil.Mata agak sipit.
Hidung ala kadarnya.”(Gadis Pantai-hal 11)
ü Pencitraan
penciuman
“Dan
beberapa hari setelah itu sang gadis harus tinggalkan dapurnya, suasana
kampungnya, kampunya sendiri dengan bau amis abadinya.”(Gadis Pantai-hal12)
ü Pencitraan
pendengaran
“Ia
masih ingat waktu tong-tong bambu kepala Kampung bertalu tanpa hentinya sampai
bayi tarakhir dapat malarikan dari kampung yang terkepung maut.”(Gadis
Pantai-hal 43)
ü Pencitraan
perabaan
“Dan
pakaian yang terlalu ringan dan halus itu masih juga memberinya perasaan ia
masih telanjang bulat.”(Gadis Pantai-hal 29)
·
Amanat
è Manusia
semua sama. Tidak boleh ada perbedaan antar sesama karena derajat, gender, dan
harta. Kita harus saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
è Jangan
terjebak pada sistem budaya yang membatasi atau memisah kedudukan manusia.
è Jangan
suka menindas orang lemah.
UNSUR EKSTRINSIK
·
Biografi penulis
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, 6
Februari 1925, sebagai anak sulung Bapak Mastoer dan Ibu Oemi Saidah. Pramoedya
Ananta Toer terlahir di kalangan keluarga yang terdidik dan religius. Hal
tersebut dapat dijelaskan karana ayah
Pramoedya Ananta Toer merupakan seorang guru di Instituut Boedi Oetomo (IBO).
Adapun, sisi religiusitas dalam keluarga Pramoedya Ananta Toer berasal dari silsilah
ibundaya yang merupakan anak Penghulu Rembang Haji Ibrahim.
Pramoedya Ananta Toer adalah seorang terdidik. Ia telah mengenyam
berbagai
tingkat pendidikan
diantarnya sekolah dasar hingga
meneruskan ke sekolah kejuruan radio (Radio Vakschool) di Surabaya. Lain
dari itu, ia juga pernah bersekolah di Jakarta mengikuti pendidikan Taman Siswa
tingkat dewasa (SLP) dan pernah juga masuk di Sekolah Tinggi Islam. Setelah
mengenyam berbagai pendidikan, ia juga lulus dari kursus mengetik dan
stenografi.
Adapun, seletah menempuh beberapa tingkat pendidikan
akhirnya menghantarkan Pramoedya ke
dunia kerja. Pramoedya Ananta
Toer pernah bekerja sebagai juru ketik di kantor berita Jepang Domei. Disebabkan beberapa hal akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaanya sebagai juru ketik tersebut. Pada Bulan
Oktober 1945 akhirnya ia bergabung
dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan bertugas di Cikampek. Beberapa tahun di
BKR akhirnya Pramoedya Ananta Toer resmi
keluar pada 1 Januari 1947
dan kemudian mendapatkan pekerjaan
baru pada „ The
Voice of Free Indonesia‟ .
Pekerjaan Pram sebagai
redaktur penerbitan ini tak berlangsung lama karena ia harus dipenjara
untuk pertama kalinya oleh Belanda pada Juli1947 sampai Desember 1949. Adapun, selanjutnya Pramoedya
Ananta Toer juga kembali dipenjara
selama 14 tahun oleh pemerintahan Orde Baru dengan tuduhan terlibat dengan parpol
PKI sejak tahun 1965 sampai1979. Pada 21 Desember 1979 tersebut ia mendapat surat
pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI.
Pramoedya Ananta Toer merupakan pengarang yang produktif karena di zaman yang susah dan di
tengah-tengah kesibukannya bekerja dan di dalam
penjara ia masih sempat menuliskan beberapa karya. Hal tersebut terbukti pada tahun 1950 sampai
tahun 1952 ia berhasil menerbitkan tiga kumpulan cerpen dan empat novel. Kumpulan cerpen tersebut yaitu Pertjikan Revolusi,
Subuh, Tjerita dari Blora, dan keempat roman tersebut adalah Perburuan, Keluarga Gerilja, Ditepi
Kali Bekasi,dan Mereka Jang Dilumpuhkan. Sejak tahun 1950 itulah ia mulai
terkenal dan aktif berkarya di dunia sastra.
Kehidupan Pramoedya Ananta Toer sebagai sastrawan juga
tidak terlepas dari kehidupan sosial politik. Diketahui ia mempunyai jiwa nasionalis
dengan bergabung bersama BKR. Adapun, sejak tahun 1957 ia mulai dikenal aktif
dalam dunia politik Indonesia dengan menulis karangan yang mendukung politik
Presiden Soekarno yang berorientasi pada
demokrasi terpimpin. Kehidupan sosial dan politis Pramoedya Ananta Toer
juga terlihat ketika dirinya dilibatkan untuk pertama kali dalam Lekra pada
Januari 1959. Lekra merupakan lembaga kebudayaan yang kedudukannya berada di
bawah naungan PKI. Sejak ketergabungannya di Lekra tersebut Pramoedya Ananta
Toer aktif menyuarakan perlawanan
pada penindasan imperialisme
dan kolonialisme.
Keaktifan dan perhatian Pramoedya Ananta Toer dalam dunia
politik indonesia tercermin dari berbagai tulisannya. Adapun, ia pernah menyatakan dalam
tulisaanya bahwa yang
menjadi biang keladi kegagalan-kegagalan Indonesia adalah sistem demokrasi liberal yang mendasarkan
segala-galanya pada faktor uang, tidak pada jiwa-jiwa yang setiap saat
dapat berkembang kalau dibimbing secara tepat
dan baik.
Selain pandangan politik, Pramoedya Ananta Toer juga
menetaskan pandangan sastra yaitu dengan visi realisme sosial. Adapun, visi
sastra Pram tersebut dimaksudkan pada humanisme sosial atau humanisme proletar
yang memperjuangkan rakyat dalam melawan penderitaan dan penindasan dari kaum
kapitalis dan imperialis.Novel Gadis Pantai ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1962-1965
dan mula-mula terbit sebagai cerita bersambung dalam lampiran kebudayaan
Lentera. Adapun, melalui proses yang penuh likaliku akhirnya novel ini berhasil
diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun1987.
Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer merupakan kisah
yang mempunyai kemiripan dengan kehidupan keluarganya. Nenek Pram dari pihak
ibu yaitu bernama Satimah. Ia disunting sebagai selir oleh kakek Pram yaitu
seorang Penghulu Rembang. Tetapi setelah
melahirkan anak (ibunya Pramoedya), Satimah dicerai. Kisah kehidupan nenek Pram
tersebutlah yang kemudian menjadi prototipe Gadis Pantai.Penceritaan Novel
Gadis Pantai yang
ternyata sangat dekat dengan sejarah kehidupan keluarga,
memang sesuai dengan pandangan sastra
Pram. Pramoedya Ananta Toer berpandangan bahwa pentingnya bagi dia latar
kenyataan hulu, data-data, fakta-fakta, untuk menciptakankarya sastra;
ia selalu memerlukan setting
dalam kenyataan untukmemberikan ruang
yang meyakinkan bagi
cerita itu untuk dapat berlangsung dengan
mantap.
(Dirangkum dari A. Teww, 1997: 2 – 45 dan pengantar Novel Gadis Pantai, 2011).
·
Nilai religi
è Keharaman
suatu kegiatan
“Jangan
main bola! Haram! Haram! Tak ingat pesan ayahanda? Itu perbuatan perbuatan
terkutuk orang-orang murtad. Ingat! Kepala Hasan-Husin yang mereka tendang! Apa
Agus mau jadi kafir juga?”(Gadis Pantai-hal 21)
è Beribadah
kepada Tuhan
“Untuk
pertama kali dalam hidunya Gadis Pantai bersuci diri dengan air wudu dan dengan
sendirinya bersiap untuk bersembahyang.”(Gadis Pantai-hal 34)
“Bendoro
di depan sana berukuk. Seperti mesin ia mengikutiBendoro-di sana bersujud, ia
pun bersujud, Bendoro duduk ia pun duduk.”(Gadis Pantai-hal 36)
è Mengucap
syukur kepada Tuhan
“Bersyukurlah
di sini kau akan selalu makan nasi. Insya Allah.Tuhan akan selalu
memberkati.”(Gadis Pantai-hal 40)
·
Nilai politik
è Keberanian
menghadapi Belanda
“Kasihan
mendiang Den Ajeng Tini. Begitu berani. Siapa lebih berani dari beliau?Mengahadapi
Belanda mana saja tidak takut. Pembesar-pembesar sendiri pada hormat.”(Gadis
Pantai-hal 70)
è Kedudukan
daerah yang berbeda
“Perkawinan
Bendoro Bupati semakin dekat. Bendoro semakin jarang di rumah. Kota mulai
dihias. Putri dari kraton Solo harus disambut lebih hebat dari putri kabupaten
Jepara.”(Gadis Pantai-hal 71)
è Perlawanan
terhadap Belanda
“Kau
hanya baru sampai melawan para raja, pangeran, dan bupati. Satu turunan tidak
bakal selesai.Kalau para raja, pangeran, dan bupati sudah dikalahkan, baru kau
bisa berhadapan pada Belanda.”(Gadis Pantai-hal 121)
·
Nilai budaya
è Kebiasaan
memakai sanggul dan berdandan bagi kaum priyai
“Tapi ia diam saja waktu bujang
menyisirinya kembali serta memasangkan sanggul yang telah dipertebal dengan
cemara, serta menyuntingkan bunga cempaka di sela-sela.”(Gadis Pantai-hal 55)
è Budaya
membatik
“Gadis Pantai mulai
membatik, seorang guru batik didatangkan.”(Gadis pantai-hal 69)
è Pertunjukkan
wayang kulit
“Sekali seorang kota membawa
wayang kulit ke kampung nelayan.”(Gadis Pantai-hal 85)
·
Nilai adat
è Kehadiran
mempelai pria dalam pernikahan dapat digantikan oleh keris
“Kemarin malam ia telah
dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Kini ia istri sebilah keris,wakil
seorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup.”(Gadis Pantai-hal 12)
è Perempuan
priyai tiak boleh bekerja
“Di sini kau tak boleh
kerja. Tanganmu harus halus seperti beludu. Wanita utama tak boleh
kasar.”(Gadis Pantai-hal 37)
è Rakyat
jelata harus membungkuk dan berjalan mundur
“Ia berlutut, membungkuk,
berlutut berjalan mundur. Sampai di pintu ia berhenti sebentar, menebarkan pandangan
jauh ke depan, pada Bendoro.”(Gadis Pantai-hal 38)
·
Nilai sejarah
è Berperang
bersama Pangeran Diponegoro
“Waktu Pangeran Diponegoro
kalah perang-kakek lari lagi bersama seorang priyayi yang juga ikut
huru-hara.”(Gadis Pantai-hal 57)
è Pernikahan
R.A.Kartini dan kematiannya
“Tentang perayaan perkawinan
Raden Ajeng Kartini beberapa tahun yang lalu, dan tentang upacara pemakamanya
juga beberapa tahun yang lalu,”(Gadis Pantai-hal 60)
è Kerja
rodi zaman penjajahan Belanda
“Lantas saya dikirim ke
Jepara sana buat kerja rodi, tanam coklat.”(Gadis Pantai-hal 61)
Pramudya...Lekra ya??
BalasHapus