Jumat, 26 Mei 2017

Laporan Buku : Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta T.






DAFTAR ISI


Identitas Buku…………………………………………... 2
Sinopsis …………………………………………………. 3
Unsur Intrinsik…………………………………………… 4
Unsur Ekstrinsik…………………………………………. 8




IDENTITAS BUKU

·         Judul : Gadis Pantai
·         Penulis : Pramoedya Ananta Toer
·         Penerbit : Lentera Dipantara
·         Tahun terbit : Juli 2003
·         Genre : Roman
·         Halaman : 272



SINOPSIS

Gadis pantai adalah anak kampung nelayan berusia empat belas tahun sewaktu dinikahkan dengan Bendoro,pembesar asal Bima. Gadis Pantai pada awalnya merasa bingung, dengan siapa ia dinikahkan karena ketika pernikahannya, Bendoro tidak menghadiri upacara pernikahan sendiri,melainkan hanya diwakili sebilah keris. Setelah pernikahan, Gadis Pantai harus pindah ke kota untuk tinggal bersama Bendoro namun Gadis Pantai tidak mau pindah ke rumah mewah di kota itu tetapi kenyatannya Gadis Pantai tetap diantarkan orang tuanya yang berpikir Gadis Pantai akan hidup berbahagia dan nyaman di sana.
Di rumah Bendoro tersebut ada seorang hamba sahaya tua (mbok) yang mengajarkan kepada Gadis Pantai segalanya yang harus dia tahu dan lakukan untuk memelihara kesenangan Bendoro. Gadis pantai namanya diganti jadi Mas Nganten. Selain mbok tidak ada orang pun di rumah itu yang peduli pada Mas Nganten. Suatu waktumbok diusir akibat mengkritik anak-anak yang ada di rumah Bendoro. Mbok digantikan oleh Mardinah yang sombong nan jahatanak seorang jurutulis dari kota. Sikapnya berani kepada Gadis Pantai. Belakangan terungkap bahwa dia diutus Bendoro Putri bupati Demak untuk mengupayakan agar anak Bendoro Putri bisa dinikahi oleh suami Gadis Pantai. Mardinah diberi janji apabila berhasil maka dia akan diambil jadi istri kelima. Perlahan Gadis Pantai yang berasal dari kampung itu mulai menyadari bahwa pernikahannya hanya percobaan saja dan Bendoro akan menikah lagi dengan wanita dari kalangan bangsawan.
Setelah dua tahun pernikahannya berlalu, Gadis pantai mendapat izin untuk mengunjungi orang tuanya di kampung. Disitu Gadis Pantai mengalami perubahan perilaku orang kampung terhadap dirinya. Gadis Pantai dianggap Bendoro, priyayi bukan orang kampung lagi. Itu merupakan hal yang sangat menyedihkan dan menyakitkan untuk Gadis Pantai. Setelh tiga tahun pernikahannya, Gadis Pantai melahirkan bayi perempuan. Beberapa saat kemudian dia diceraikan dan diusir dari rumah Bendoro. Bayinya ditahan disana. Bapak Gadis Pantaimenemani Gadis Pantai untuk kembali ke kampung mereka. Namun ditengah perjalanan, setelah meminta izin bapaknya Gadis Pantai memutuskan untuk pergi jauh dari kampung akibat malu yang tak terbendung.


UNSUR INTRINSIK

·         Tema
Sistem feodalisme dan budaya adat Jawa.

·         Plot
Maju
Awal cerita,dimulai ketika Gadis Pantai yang tinggal di kampung nelayan pada masa penjajahan Belanda dinikahkan kemudian dibawa ke rumah Bendoro, kehidupannya kemudian disana, bagaimana ia menyesuaikan diri sebagai ‘wanita utama’, menjalani hidup dengan Bendoro, mengandung dan melahirkan bayinya dengan Bendoro serta bagaimana ia diusir dari oleh Bendoro setelah melahirkan bayi pertamanya yang berjenis kelamin perempuan dan ia memutuskan untuk pergi ke Blora karena malu dengan Emak dan tetangganya di kampung.

·         Perwatakan

è Gadis Pantai (baik hati, polos, dan tidak sombong)
“Aku tak butuhkan sesuatu dari dunia kita ini. Aku Cuma butuhkan orang yang tercinta, hati-hati yang terbuka, senyum, tawa, dan dunia tanpa duka, tanpa takut.”(Gadis Pantai-hal 138)

è Bendoro (semena-mena dan egois)
“Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan musti kerjakan. Diamlah kau sekarang. Malam semakin larut.”(Gadis Pantai-hal 136)

è Mbok (penyayang)
“Aku ingin mbok sayangi aku.”
“Apa kurang sayang sahaya?”
“Akui ingin senangkan hati mbok.”
“Apa dikira sahaya kurang senang layani Mas Nganten?”
(Gadis Pantai-hal 96)

è Mardinah (sombong)
“Apa bapak Mas Nganten? Nelayan, bukan? Benar, sahaya tidak salah. Mas nganten tahu siapa orangtua sahaya?. Pensiunan jurutulis.” (Gadis Pantai-hal 25)

è Bapak (keras)
“Apa kau bilang?”tanyanya sekali lagi dengan suara mengeras membentak. (Gadis Pantai-hal 270)

è Emak (rela berkorban)
“Aku dan bapakmu banting tulang biar kau rasakan pakai kain, pakai kebaya, kalung, anting seindah itu. Dan gelang ular itu….”(Gadis Pantai-hal 13)

·         Latar

è Latar Tempat
ü  Rumah besar tempat tinggal Bendoro
“ Mereka sedang menghirup udara pagi di kebun belakang. Dan kebun belakang itu jauh lebih besar dari seluruh kampung nelayan tempat iadilahirkan dan dibesarkan. Seluruhnya terpagari dinding tembok tinggi.
(Gadis Pantai-hal 40)

ü  Kampung Gadis Pantai
” Bocah-bocah pada berkicau mengenalkan keanehan pantai waktu gadis pantai lebih jauh lagi berjalan, yang nampak dan tercium masih yang dulu juga: ampas manusia yang berbaris sepanjang pantai, berbaris tanpa komando.”

“ Lihatlah,” ia menuding pada laut, “ dia tidak berubah” kemudian membalik badan menuding ke kampung. “ Dia pun tak berubah. Atap – atap rumbainya tak ada yang baru. Pohon-pohon kelapa itu kulihat tak bertambah. Ada yang mati sepeninggalanku?”(Gadis Pantai-hal 176).

è Latar waktu
Kisah Gadis Pantai dilukiskan pada awal abad dua puluh.

”Ia telah tinggalkan abad sembilan belas, memasuki abad dua puluh.”(Gadis Pantai-hal 11)

è Latar suasana
ü  Sunyi
“Gadis Pantai tersandar sekarang betapa takutnya ia pada kesunyian,pada keadaan tak boleh bergerak.”(Gadis Pantai-hal 35)
ü  Ketakutan
“Ia takut. Ia tak pernah diajar menggunakan bahasa yang biasa yang dipergunakan di kota. Ia diam saja.”(Gadis Pantai-hal 40)
ü  Senang
”Kembali Gadis Pantai tertawa senang. Ia temukan dalam logat kusir bahasa  yang selama ini ia rindukan. Yang selama ini ingin ia ucapkan: kata-kata yang kelauar dari hati yang lugu – dari hati yang tertindas.”(Gadis Pantai-hal 143)
”Suasana tiba-tiba menjadi riang gembira.Orang tertawa riuh-rendah. Pendongen jadi sasaran. “(Gadis Pantai-hal  200)
·         Sudut pandang
Sudut pandang orang ketiga tidak terbatas, sudut penglihatan Yang Berkuasa, atau pengarang serba  tahu.

”Inilah tebusan janjiku. Pada dia yang tak pernah ceritakan sejarah diri. Dia yang tak pernah ku ketahui namanya. Maka cerita ini kubangun dari berita orang lain, dari yang dapat kusaksikan, kukhayalkan, kutuangkan.”(Gadis Pantai-hal 9)

“Empat belas tahun umurnya. Waktu itu. Kulit langsat.Tubuh kecil mungil. Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai Keresidenan Jepara Rembang.”(Gadis Pantai-hal 11)

“ Mak juga nangis.” Gadis Pantai menyela  antara
sedannya. (Gadis Pantai-hal 14)

·         Gaya bahasa
Menggunakan majas dan gaya bahasa retoris berupa pencitraan.

è Majas
ü   Majas simile
”Tertinggal  Gadis Pantai seorang diri dalam ruangan besar yang tak pernah diinjaknya semula, laksana seekor tikus di dalam perangkap.”(Gadis Pantai-hal 35)
ü  Majas Metafora
”Dinding-dinding batu tebal itu bisu-kelabu tanpa hati.”(Gadis Pantai-hal 36)
ü  Majas Personifikasi
“Tapi lapar tetap membelit-belit dalam perutnya.”(Gadis Pantai-hal 43)
è Peribahasa dan pencitraan
ü  Peribahasa
“Berakit-rakit ke hulu.”(Gadis Pantai-hal 38)
ü  Pencitraan penglihatan
“Empat belas tahun umurnya waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil.Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya.”(Gadis Pantai-hal 11)
ü  Pencitraan penciuman
“Dan beberapa hari setelah itu sang gadis harus tinggalkan dapurnya, suasana kampungnya, kampunya sendiri dengan bau amis abadinya.”(Gadis Pantai-hal12)
ü  Pencitraan pendengaran
“Ia masih ingat waktu tong-tong bambu kepala Kampung bertalu tanpa hentinya sampai bayi tarakhir dapat malarikan dari kampung yang terkepung maut.”(Gadis Pantai-hal 43)
ü  Pencitraan perabaan
“Dan pakaian yang terlalu ringan dan halus itu masih juga memberinya perasaan ia masih telanjang bulat.”(Gadis Pantai-hal 29)

·         Amanat

è Manusia semua sama. Tidak boleh ada perbedaan antar sesama karena derajat, gender, dan harta. Kita harus saling menghormati dan menghargai satu sama lain.
è Jangan terjebak pada sistem budaya yang membatasi atau memisah kedudukan manusia.
è Jangan suka menindas orang lemah.



UNSUR EKSTRINSIK

·         Biografi penulis
Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925, sebagai anak sulung Bapak Mastoer dan Ibu Oemi Saidah. Pramoedya Ananta Toer terlahir di kalangan keluarga yang terdidik dan religius. Hal tersebut dapat dijelaskan karana  ayah Pramoedya Ananta Toer merupakan seorang guru di Instituut Boedi Oetomo (IBO). Adapun, sisi religiusitas dalam keluarga Pramoedya Ananta Toer berasal dari silsilah ibundaya yang merupakan anak Penghulu Rembang Haji Ibrahim.

Pramoedya Ananta Toer adalah seorang terdidik. Ia telah mengenyam  berbagai  tingkat  pendidikan diantarnya  sekolah  dasar hingga  meneruskan ke sekolah kejuruan radio (Radio Vakschool) di Surabaya. Lain dari itu, ia juga pernah bersekolah di Jakarta mengikuti pendidikan Taman Siswa tingkat dewasa (SLP) dan pernah juga masuk di Sekolah Tinggi Islam. Setelah mengenyam berbagai pendidikan, ia juga lulus dari kursus mengetik dan stenografi.

Adapun, seletah menempuh beberapa tingkat pendidikan akhirnya menghantarkan  Pramoedya  ke  dunia  kerja. Pramoedya  Ananta  Toer pernah bekerja sebagai juru ketik di kantor berita  Jepang Domei. Disebabkan beberapa  hal akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaanya  sebagai juru ketik tersebut. Pada Bulan Oktober 1945 akhirnya  ia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan bertugas di Cikampek. Beberapa tahun di BKR akhirnya Pramoedya Ananta   Toer   resmi   keluar   pada   1   Januari   1947   dan   kemudian mendapatkan  pekerjaan  baru  pada  „ The  Voice   of Free Indonesia‟ .

Pekerjaan Pram sebagai  redaktur penerbitan ini tak berlangsung lama karena ia harus dipenjara untuk pertama kalinya oleh Belanda pada Juli1947 sampai  Desember 1949. Adapun, selanjutnya Pramoedya Ananta Toer juga  kembali dipenjara selama 14 tahun oleh pemerintahan Orde Baru dengan tuduhan terlibat dengan parpol PKI sejak tahun 1965 sampai1979. Pada 21 Desember 1979 tersebut ia mendapat surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam G30S PKI.

Pramoedya Ananta Toer merupakan pengarang yang  produktif karena di zaman yang susah dan di tengah-tengah kesibukannya bekerja dan di dalam  penjara ia masih sempat menuliskan beberapa karya.  Hal tersebut terbukti pada tahun 1950 sampai tahun 1952 ia berhasil menerbitkan tiga kumpulan  cerpen dan empat novel. Kumpulan  cerpen tersebut yaitu Pertjikan Revolusi, Subuh, Tjerita dari Blora, dan keempat roman tersebut  adalah Perburuan, Keluarga Gerilja, Ditepi Kali Bekasi,dan Mereka Jang Dilumpuhkan. Sejak tahun 1950 itulah ia mulai terkenal dan aktif berkarya di dunia sastra.

Kehidupan Pramoedya Ananta Toer sebagai sastrawan juga tidak terlepas dari kehidupan sosial politik. Diketahui ia mempunyai jiwa nasionalis dengan bergabung bersama BKR. Adapun, sejak tahun 1957 ia mulai dikenal aktif dalam dunia politik Indonesia dengan menulis karangan yang mendukung politik Presiden Soekarno yang berorientasi pada  demokrasi terpimpin. Kehidupan sosial dan politis Pramoedya Ananta Toer juga terlihat ketika dirinya dilibatkan untuk pertama kali dalam Lekra pada Januari 1959. Lekra merupakan lembaga kebudayaan yang kedudukannya berada di bawah naungan PKI. Sejak ketergabungannya di Lekra tersebut Pramoedya Ananta Toer  aktif menyuarakan  perlawanan  pada  penindasan  imperialisme  dan kolonialisme.

Keaktifan dan perhatian Pramoedya Ananta Toer dalam dunia politik indonesia tercermin dari berbagai tulisannya. Adapun, ia pernah menyatakan   dalam   tulisaanya   bahwa   yang   menjadi   biang   keladi kegagalan-kegagalan Indonesia  adalah sistem demokrasi liberal yang mendasarkan segala-galanya pada faktor uang, tidak pada jiwa-jiwa yang setiap  saat  dapat  berkembang kalau dibimbing  secara tepat  dan  baik.

Selain pandangan politik, Pramoedya Ananta Toer juga menetaskan pandangan sastra yaitu dengan visi realisme sosial. Adapun, visi sastra Pram tersebut dimaksudkan pada humanisme sosial atau humanisme proletar yang memperjuangkan rakyat dalam melawan penderitaan dan penindasan dari kaum kapitalis dan imperialis.Novel Gadis Pantai ditulis oleh  Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1962-1965 dan mula-mula terbit sebagai cerita bersambung dalam lampiran kebudayaan Lentera. Adapun, melalui proses yang penuh likaliku akhirnya novel ini berhasil diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun1987.

Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer merupakan kisah yang mempunyai kemiripan dengan kehidupan keluarganya. Nenek Pram dari pihak ibu yaitu bernama Satimah. Ia disunting sebagai selir oleh kakek Pram yaitu seorang  Penghulu Rembang. Tetapi setelah melahirkan anak (ibunya Pramoedya), Satimah dicerai. Kisah kehidupan nenek Pram tersebutlah yang kemudian menjadi prototipe Gadis Pantai.Penceritaan  Novel  Gadis  Pantai  yang  ternyata  sangat  dekat dengan sejarah kehidupan keluarga, memang sesuai dengan pandangan sastra  Pram. Pramoedya Ananta Toer berpandangan bahwa pentingnya bagi dia latar kenyataan hulu, data-data, fakta-fakta, untuk menciptakankarya   sastra;  ia selalu  memerlukan  setting  dalam  kenyataan untukmemberikan  ruang  yang  meyakinkan  bagi  cerita  itu  untuk dapat berlangsung   dengan  mantap. 
(Dirangkum dari A. Teww, 1997: 2 – 45 dan  pengantar Novel Gadis Pantai, 2011).

·         Nilai religi

è Keharaman suatu kegiatan
“Jangan main bola! Haram! Haram! Tak ingat pesan ayahanda? Itu perbuatan perbuatan terkutuk orang-orang murtad. Ingat! Kepala Hasan-Husin yang mereka tendang! Apa Agus mau jadi kafir juga?”(Gadis Pantai-hal 21)
è Beribadah kepada Tuhan
“Untuk pertama kali dalam hidunya Gadis Pantai bersuci diri dengan air wudu dan dengan sendirinya bersiap untuk bersembahyang.”(Gadis Pantai-hal 34)
“Bendoro di depan sana berukuk. Seperti mesin ia mengikutiBendoro-di sana bersujud, ia pun bersujud, Bendoro duduk ia pun duduk.”(Gadis Pantai-hal 36)
è Mengucap syukur kepada Tuhan
“Bersyukurlah di sini kau akan selalu makan nasi. Insya Allah.Tuhan akan selalu memberkati.”(Gadis Pantai-hal 40)

·         Nilai politik

è Keberanian menghadapi Belanda
“Kasihan mendiang Den Ajeng Tini. Begitu berani. Siapa lebih berani dari beliau?Mengahadapi Belanda mana saja tidak takut. Pembesar-pembesar sendiri pada hormat.”(Gadis Pantai-hal 70)
è Kedudukan daerah yang berbeda
“Perkawinan Bendoro Bupati semakin dekat. Bendoro semakin jarang di rumah. Kota mulai dihias. Putri dari kraton Solo harus disambut lebih hebat dari putri kabupaten Jepara.”(Gadis Pantai-hal 71)
è Perlawanan terhadap Belanda
“Kau hanya baru sampai melawan para raja, pangeran, dan bupati. Satu turunan tidak bakal selesai.Kalau para raja, pangeran, dan bupati sudah dikalahkan, baru kau bisa berhadapan pada Belanda.”(Gadis Pantai-hal 121)
·         Nilai budaya

è Kebiasaan memakai sanggul dan berdandan bagi kaum priyai
“Tapi ia diam saja waktu bujang menyisirinya kembali serta memasangkan sanggul yang telah dipertebal dengan cemara, serta menyuntingkan bunga cempaka di sela-sela.”(Gadis Pantai-hal 55)
è Budaya membatik
“Gadis Pantai mulai membatik, seorang guru batik didatangkan.”(Gadis pantai-hal 69)
è Pertunjukkan wayang kulit
“Sekali seorang kota membawa wayang kulit ke kampung nelayan.”(Gadis Pantai-hal 85)

·         Nilai adat

è Kehadiran mempelai pria dalam pernikahan dapat digantikan oleh keris
“Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Kini ia istri sebilah keris,wakil seorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup.”(Gadis Pantai-hal 12)
è Perempuan priyai tiak boleh bekerja
“Di sini kau tak boleh kerja. Tanganmu harus halus seperti beludu. Wanita utama tak boleh kasar.”(Gadis Pantai-hal 37)
è Rakyat jelata harus membungkuk dan berjalan mundur
“Ia berlutut, membungkuk, berlutut berjalan mundur. Sampai di pintu ia berhenti sebentar, menebarkan pandangan jauh ke depan, pada Bendoro.”(Gadis Pantai-hal 38)

·         Nilai sejarah

è Berperang bersama Pangeran Diponegoro
“Waktu Pangeran Diponegoro kalah perang-kakek lari lagi bersama seorang priyayi yang juga ikut huru-hara.”(Gadis Pantai-hal 57)
è Pernikahan R.A.Kartini dan kematiannya
“Tentang perayaan perkawinan Raden Ajeng Kartini beberapa tahun yang lalu, dan tentang upacara pemakamanya juga beberapa tahun yang lalu,”(Gadis Pantai-hal 60)
è Kerja rodi zaman penjajahan Belanda

“Lantas saya dikirim ke Jepara sana buat kerja rodi, tanam coklat.”(Gadis Pantai-hal 61)

1 komentar:

[BANGKOK JOURNAL PART 1: 46th APDSA ANNUAL CONGRESS 2019]

 46th ASIA PACIFIC DENTAL STUDENT ASSOCIATION ANNUAL CONGRESS 2019 THAILAND OKAY HUFT! After dealing with problems, I finally make this...